Tag Archives: masyarakat jahiliyah

12 Rabi’ul Awal: Shalawat untuk Sang Nabi

Dia lahir dari rahim sejarah. Ketika dunia dikuasai oleh dua imperium besar: Persia dan Romawi. Ketika ia datang, pasukan gajah dari Yaman pimpinan Abrahah yang menyerang Kakbah dibinasakan oleh burung-burung yang berbondong (Ababil), api abadi kaum Majusi di Persia padam, kursi-kursi istana parsi di Persia retak dan Makkah bercahaya menerangi dunia. Dia lahir dari rahim ibunya, setelah sebelumnya kehilangan ayahnya, Abdullah bin Abdul Muthalib, ketika dia masih dalam kandungan. Jikalau kamu ingin mendefinisikan “persiapan matang” dan “waktu implementasi penuh”, maka dia adalah pribadi tertarbiyah sepanjang hayat, membuat kita malu karena rancangan hidupnya terlihat jelas mana “masa persiapan” dan “masa kerja” untuk menghabiskan semua energinya.

Besar selama 4 tahun di lingkungan badui dalam asuhan keluarga Halimatus Sa’diyah, beliau mendapatkan materi-materi penopang yang mempersiapkan tegapnya tubuhnya yang mengemban risalah nanti: udara segar, air bersih, dan lingkungan kampung yang ternetralisir dari segala rupa “racun dunia”.

Mendapatkan kesadarannya sebagai seorang anak pada usia 4-6 tahun. Diasuh oleh kakeknya, Abdul Muthalib, yang sering mengikutsertakan beliau pada rapat-rapat pemimpin Quraisy, pantas saja para kafir Quraisy memprotesnya, namun Abdul Muthalib hanya mengatakan: Sesungguhnya cucuku ini suatu saat akan punya urusan besar di negeri ini. Di sini beliau mendapatkan pendidikan politiknya yang pertama.

Abdul Muthalib meninggal, beliau langsung diasuh oleh pamannya, Abu Thalib, orang yang telah memanfaatkan istifadah pada undang-undang yang dijunjung tinggi masyarakat jahiliyah: memberikan jaminan keamanan pada Nabi SAW. Oleh karena itu, pantas saja kita menanyakan ulang “fatwa” sebagian aktivis Islam yang mengharamkan demokrasi, padahal Nabi SAW menyetujui jaminan keamanan jahiliyah sebagai istifadah. Di bawah asuhan Abu Thalib, beliau mengalami perjalanan internasionalnya yang pertama kali: berdagang di negeri Syam. Di sini beliau mendapatkan pendidikan kewirausahaan dan mengenal orang banyak untuk pertama kali.

Pada usia 16 tahun, terjadi perang Fijar, dan beliau berperan sebagai pemasok anak-anak panah untuk paman beliau di medan perang. Di sinilah pertama kali pengalaman militer beliau dapatkan. Kemudian, beliau dipercaya untuk mengelola bisnis milik seorang janda kaya bernama Khadijah, dan kesuksesan luarbiasa beliau dalam menjalankan amanah bisnis itu sehingga pada usia 25 tahun beliau menikah dengan Khadijah. Mungkin beliau merasakan sebagai nobody, karena Khadijah adalah janda cantik, kaya dan dilamar para elit. Tetapi Abu Thalib meyakinkan Quraisy dan dunia dengan mengatakan kalimat pertamanya pada khutbah nikah Nabi SAW: Sesungguhnya semua orang Quraisy tahu, bahwa Muhammad adalah pemudanya yang terbaik. Karena ini masalah kelas sosial, perkara yang sensitif bagi bangsa Arab. Pada usia 34 tahun, beliau mengokohkan diri sebagai pemimpin baru masyarakat Makkah dan bertepatan pula dengan gelar al-amin (yang terpercaya) yang disematkan padanya.

Pada usia 36 tahun, beliau menyaksikan diri beliau -sebagaimana tertulis di Rahiwul Makhtum Al Mubarakfury-, “Sesungguhnya aku pada waktu itu mulai menyukai kesendirian.” dan itulah mungkin salah satu sebab mengapa uzlah itu terjadi. Pada usia 40 tahun, beliau mendapatkan wahyu yang pertamanya, dengan perintah yang jelas: Iqro’! Bacalah! Ada banyak hal yang membedakan orang-orang kecil dan orang-orang yang berbakat menjadi pahlawan, karenanya setelah wahyu itu turun, beliau langsung memberitahukan kepada istrinya: Wahai Khadijah, sesungguhnya tidak ada lagi waktu bagi kita untuk tidur.

Dan dari sinilah sejarah mencatatkan kisahnya. Pahlawan lahir dari tuntutan sejarah. Maka ketika dunia dikuasai Persia dan Romawi, ketika orang Arab mengubur bayi perempuan hidup-hidup, ketika Abrahah bergerak menghancurkan Kakbah, ketika dunia sedang berteriak jelas kepada sejarah: Wahai Sejarah, lahirkanlah kepada kami pahlawan-pahlawan dunia. Maka lahirlah Muhammad SAW, anak Abdullah, seorang piatu sejak lahir.

Di tangannya, masyarakat Arab dipersatukan untuk pertama kali pada pencucian batu hitam yang suci. Di tangannya, para penggembala kambing, budak-budak hitam yang tak punya harga sama sekali, kaum-kaum marjinal, diubah menjadi manusia-manusia beradab tinggi yang kelak menjadi pemimpin dunia. Maka lahirlah Bilal bin Rabbah, Umar bin Khattab, Sa’ad bin Abi Waqqash, Ali bin Abu Thalib, dan pahlawan Islam lainnya. Di tangannyalah, masyarakat yang setiap kabilahnya hobi perang, dipersatukan dalam jalinan persaudaraan berdasarkan akidah, sampai membuat cemburu semua raja-raja yang ada di dunia sepanjang masa. Maka lahirlah persaudaraan Abu Darda sang Anshar dan seorang mualaf persia bernama Salman Al Farisi. Beliau menjadikan budak hitam yang tak punya harga, semisal Bilal, kelak menjadi seorang gubernur di Yaman. Melahirkan Sa’ad bin Abi Waqqash, Al Qa’qa bin Amr, Musanna, Khalid bin Walid, Abu Ubaidah, yang kelak mengakhiri sejarah Persia dan Romawi. Maka lahirlah dunia baru, dunia Islam yang gemilang.

Hidupnya mengajarkan kepada kita keoptimisan dan kepercayaan diri yang penuh. Ketika perang Badar akan dimulai, beliau menanyakan kepada sahabat yang ditugasi menjadi seorang intelejen: Siapa saja yang ikut pada perang ini?. Ketika laporan datang dan menanyakan yang turun adalah para pembesar semua seperti Abu Jahal, Abu Sufyan, Syaiba dan lainnya (karena Quraisy berpikir bahwa perang ini adalah pesta membantai para muslim), ia dengan yakin menyerukan kepada para sahabatnya: Sesungguhnya Makkah sudah mengirimkan kepada kalian jantung hatinya, silahkan kalian ambil! Dan berkecamuklah Badar dan kemenangan bagi Islam rahmatan lil alamin.

Maka nafas cinta sang Nabi telah sampai kepada kita. Mengapa tidak segera bershalawat dan mengumpulkan kekuatan untuk meneladani beliau, dan membangun kembali kejayaan Islam yang telah hilang 1000 tahun lalu.

 

Bontokaddopepe,

Muh. Ihsan Harahap

Tagged ,