The Conquest of Makassar.
Tulisan ini sebelumnya diterbitkan di rubrik Budaya portal Selasar.com
Salah satu peristiwa yang sempat menjadi headline di media-media tanah air adalah soal konflik di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Konflik tersebut melibatkan Bupati Gowa, Adnan Purichta Yasin Limpo, dengan keluarga Kerajaan Gowa dan pendukungnya di sisi yang lain. Konflik itu bermula dari pengesahan Peraturan Daerah (perda) bernama Lembaga Adat Daerah (disingkat ‘LAD’), yang menurut keluarga Kerajaan Gowa merupakan cara sang Bupati untuk melantik dirinya sebagai ‘Somba’, sebuah gelar yang turun temurun diperuntukkan untuk Raja Gowa. Buntut dari konflik tersebut adalah pembakaran Gedung DPRD Kabupaten Gowa oleh oknum yang kini sedang di bawah penyelidikan kepolisian. Hingga saat ini, beberapa proses hukum sedang berjalan. Termasuk penetapan status tersangka kepada Pelaksana Teknis Satpol PP Kabupaten Gowa karena kejadian pembukaan paksa benda-benda pusaka Kerajaan Gowa di Istana Tamalate, Kabupaten Gowa.
Namun dalam tulisan ini kita tidak akan membahas lebih lanjut tentang konflik tersebut. Hal yang ingin kita bahas adalah mengenai eksistensi dan peran agama Islam dalam sejak ia pertama kali dibawa masuk ke Kerajaan Gowa, lebih dari empat abad yang lalu. Mengapa hal ini perlu diperingati? Salah satu jawabannya, Islam masuk ke Sulawesi Selatan melalui Kerajaan Gowa, dan kerajaan inilah yang kemudian menyebarkannya kepada hampir seluruh kerajaan di Pulau Sulawesi. Implikasinya, mayoritas masyarakat di Pulau Sulawesi hari ini memeluk agama Islam.
Kurang lebih sebulan yang lalu, tepatnya hari Kamis, 22 September 2016, menjadi hari yang bersejarah bagi eksistensi Islam di Makassar. Hari itu menandai 411 tahun (sejak 22 September 1605) masuk islamnya Raja Tallo ke-7, I Malingkang Daeng Sultan Abdullah Karaeng Matoaya Tumenanga ri Agamana, bersama Raja Gowa ke-14, I Mangarangi Daeng Manrabia Sultan Ala’uddin Tumenanga ri Gaukanna. Peristiwa masuk islamnya Raja dan Perdana Menteri Kerajaan kembar Gowa-Tallo tersebut disusul dengan pengislaman seluruh rakyat Makassar di Masjid Tallo dua tahun kemudian, tepatnya 9 November 1607.
Setelah Gowa-Tallo memeluk Islam, kerajaan tersebut kemudian menyebarkannya kepada semua kerajaan yang ada di Sulawesi Selatan seperti Sidenreng dan Soppeng (1609), Wajo (1610), Bone (1611) hingga Bima (1640). Sedangkan Luwu sudah diislamkan dua tahun sebelumnya. Orang-orang Bugis dari Bone, Soppeng, Wajo dan lainnya yang hendak mempelajari Islam berdatangan ke Makassar, tepatnya di Bontoala, dimana Abdul Makmur Khatib Tunggal mengajar. Khatib Tunggal atau yang lebih dikenal dengan Dato’ Ri Bandang adalah satu dari tiga ulama Minangkabau yang mengislamkan penguasa Kerajaan Luwu’ (1603) dan Kerajaan Gowa-Tallo (1605). Dua ulama lainnya dikenal sebagai Dato’ Patimang (meninggal di Patimang, Luwu’) dan Dato’ Ri Tiro (meninggal di Tiro, Bulukumba).
Jatuhnya Melaka ke tangan Portugis sekitar satu abad sebelumnya (1511) menjadi sebab pusat penyebaran Islam dengan perlahan bergeser ke arah timur. Pelabuhan utama Kerajaan Gowa-Tallo, Somba Opu, semakin ramai sebagai pelabuhan dagang transito ke Maluku (Kepulauan Banda dan lainnya). Hal ini membuat Somba Opu menjadi kota yang menawarkan kesempatan untuk menjumpai berbagai macam komoditas, ide, pedagang dari berbagai bangsa dan ras. Dari segi politik, dengan bertransformasinya Gowa-Tallo menjadi kerajaan Islam (kesultanan), membuatnya secara otomatis bersekutu dengan Kesultanan Aceh dan Kesultanan Mataram. Persekutuan tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi VOC yang pada masa yang sama meluaskan pengaruhnya di Nusantara bagian timur, terutama Kepulauan Banda. Pada 1603, para pedagang Belanda di Banda menyurat kepada Sultan Ala’uddin untuk membuka kantor perwakilan dagang di Makassar. Permintaan tersebut dikabulkan dengan syarat para pedagang tersebut hanya semata-mata untuk berdagang. Sultan Ala’uddin paham bahwa Portugis dan Belanda sedang dalam keadaan perang di Eropa, sehingga akan sedikit banyak mempengaruhi hubungan antar pedagang-pedagang mereka yang berniaga di Nusantara.
Delapan tahun setelah dikabulkannya permintaan untuk memiliki kantor dagang, pada tahun 1611, VOC mengirim Samuel De Nijs ke Makassar dan mengajak Sultan Ala’uddin untuk memerangi Banda. Sultan Ala’uddin menolak permintaan tersebut karena tahu VOC bermaksud memonopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku. Selain karena curiga atas niat memonopoli, Sultan Ala’uddin menolak permintaan tersebut karena penduduk Banda juga adalah muslim. Oleh karenanya VOC menjadi sadar bahwa Makassar menjadi halangan terbesarnya untuk memonopoli perdagangan di Nusantara bagian timur. VOC dan ‘monopoli perdagangan’ seakan tidak bisa dipisahkan. Selama aktifnya kantor perwakilan dagangnya di Makassar (1607-1615), VOC berulang kali meminta Sultan Ala’uddin untuk mengusir orang-orang Portugis dari Makassar. Permintaan itu selalu dijawab tegas, ‘Negeri saya terbuka untuk semua bangsa’. VOC juga meminta agar para pedagang Makassar dan bangsa lainnya agar dilarang pergi ke Kepulauan Banda karena daerah tersebut sudah dikuasai oleh VOC. Sultan Alau’ddin menjawab permintaan tersebut dengan ucapannya yang terkenal, ‘Tuhan yang menciptakan bumi dan laut telah membagikan daratan di antara manusia, dan memberikan laut untuk digunakan bersama. Tidak pernah kudengar seseorang dilarang untuk berlayar di lautan’.
Prinsip keterbukaan yang dianut oleh orang-orang Makassar serta doktrin Islam tentang anti-penjajahan menjadi pemicu bagi Sultan Ala’uddin untuk melanjutkan perlawanan terhadap aksi-aksi monopoli dari VOC. Pada 1634, saat itu VOC melakukan pemusnahan yang masif terhadap pohon-pohon cengkeh dan pala di Maluku. Kejadian tersebut ditanggapi Sultan Ala’uddin dengan mengirim armada ke Ambon untuk membantu melawan VOC. Berbagai perlawanan dilancarkan selama bertahun-tahun untuk melawan dominasi VOC di bagian timur Nusantara. Sejak saat itu, VOC dan Gowa-Tallo menjadi musuh bebuyutan sampai terjadinya Perang Makassar, 1667-1669. Perang tersebut terjadi setelah perang satu tahun (1666-1667) yang kemudian diikuti dengan penandatanganan Perjanjian Bungaya. Kurang lebih 30 poin dalam perjanjian tersebut betul-betul menghabisi kekuatan Kerajaan Gowa-Tallo. Dampaknya juga mengenai para pedagang internasional yang sudah berdagang di Somba Opu sejak lama akhirnya diusir, karena kelompok non-pribumi yang bisa berdagang di Makassar hanyalah VOC. Perang Makassar berakhir dengan kekalahan Kerajaan Gowa-Tallo oleh persekutuan VOC dan Kerajaan Bone.
Setelah kalahnya Kerajaan Gowa-Tallo, berbagai bangsawan Makassar yang tidak mau hidup di bawah naungan VOC memilih untuk merantau meninggalkan Makassar. Karaeng Galesong, pergi ke Pulau Jawa bagian timur dan bergabung dengan Trunojoyo, seorang raja dari Madura yang mengadakan pemberontakan atas Amangkurat I yang didukung VOC. Jejak-jejak bangsawan Makassar juga bisa dilihat jejaknya pada kerajaan Melayu yang signifikansinya besar seperti Selangor dan Johor. Bahkan Perdana Menteri Malaysia Najib Rajab (anak dari mantan PM Malaysia Tun Abdul Razak) mengaku keturunan dari putra Raja Gowa XIX Sultan Abdul Jalil Tumenanga ri Lakiung yang konon pergi ke Pahang, Malaysia.
Tiga abad hingga diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia, Islam menjadi agama mayoritas orang-orang Makassar dan Sulawesi Selatan secara umum. Masuknya Islam di Makassar pada 1605 juga menjadi jalan bagi Tuanta Salamaka Syekh Yusuf Al Makassari yang kemudian membawa Islam dari Makassar ke Cape Town, Ibukota Afrika Selatan sekarang. Syekh Yusuf Al Makassari bahkan dinobatkan sebagai pahlawan nasional Afrika Selatan pada tahun 2005. Dengan genapnya 411 tahun dipeluknya Islam di Makassar, semoga bisa menjadi refleksi bagi masyarakat Sulawesi Selatan agar tidak melupakan sejarah. Kekuatan sejarah Makassar tercermin dari prinsip hidup orang Makassar dan nilai Islam yang dipegang teguh pada masa Sultan Ala’uddin: terbuka terhadap perbedaan dan selalu menantang ketidakadilan. Dengan nilai-nilai itulah sejarah mencatat kegemilangan Makassar dan membuatnya bertahan lebih dari 400 tahun hingga sekarang.
—
Penulis adalah lulusan Jurusan Sejarah, FIB, Universitas Hasanuddin, Makassar. Pernah menjadi Ketua Umum KAMMI Komisariat Unhas (2015) dan YSEALI Academic Fellow on International Civic and Human Rights di Kennesaw State University, Georgia, Amerika Serikat (2016). Tulisan-tulisan penulis pernah dipublikasikan di The Jakarta Post, Tribun Timur, Muhammadiyah Studies dan lainnya.